Jogja merupakan kota yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang terkenal hingga mancanegara. Selain mendapat julukan sebagai Kota Budaya, Jogja juga dikenal sebagai Kota Sejarah.
Sejarah Pura Pakualaman banyak dikenang sebagai istana tempat tinggal para penguasa Praja Pankualaman. Istana ini pertama kali dibangun pada 1812 oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I.
Dahulu wilayah Kadipaten Pakualaman terletak di daerah Kulon Progo. Sedangkan istananya berada di dalam kota Yogyakarta, tepatnya terletak di Jalan Sultan Agung.
Sejarah Pura Pakualaman
Sejarah berdirinya Pura Pakualaman berawal saat Pangeran Notokusumo, yaitu putra dari Hamengkubuwono I telah diangkat sebagai pangeran merdeka. Pengangkatan ini dilakukan oleh Pemerintah Britania Raya. Setelah pengangkatan Pangeran Notokusumo pada 1812, selanjutnya pangeran ini diberi gelar Paku Alam I dan kemudian membangun istananya.
Sejarah Pura Pakualaman berdiri di Jalan Sultan Agung yang berada tidak jauh dari Keraton Yogyakarta. Awalnya, pura memiliki bentuk yang sederhana, yaitu terdiri atas pendopo, bangunan penunjang, dan taman bagian luar.
Pada masa pemerintahan Pangeran Paku Alam IV ini, telah dilakukan pembangunan baru pendopo Sewatama dan beberapa bangunan lainnya yang rusa karena tragedi gempa bumi. Lalu, ketika Paku Alam V memegang kekuasaan, dilakukan pembangunan baru Sewarengga.
Perubahan selanjutnya dilakukan oleh Paku Alam VII, yaitu dengan melakukan pembangunan gedung-gedung baru dan berhasil membongkar beberapa bangunan lama. Hal ini menjadikan arsitekturnya banyak mengalami perubahan.
Pada masa pendudukan Jepang, sekitar tahun 1942 – 1945, Pura Pakualaman tidak mengalami perubahan yang signifikan. Lalu pada tahun 1974, telah dilaksanakannya pemugaran bangunan Parangkarsa yang dilakukan oleh Proyek Sasana Budaya.
Fakta Bangunan Pura Pankualaman
Sejarah Pura Pakualaman juga meliputi terkait bangunannya. Terdapat 2 fakta terkait bangunan Pura ini yang sampai sekarang masih bisa dikunjungi.
Bangunan ini mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Sehingga perubahan ini juga sedikit mempengaruhi fungsi atas tempat-tempat yang dibangun pada Pura. Adapun fakta terkait bangunannya, antara lain:
-
Kompleks bangunan
Mengenai Sejarah Pura Pakualaman dan konsep pada kawasan Pura sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Kasultanan Yogyakarta, namun dalam skala yang lebih kecil. Secara menyeluruh, pada bangunan Pura Pakualaman ini dibagi menjadi dua halaman utama. Adapun pada halaman pertama terdiri atas pendopo Aewatama, Taman, bangunan sayap timur (Museum dan radio swasta suara istana), dan bangunan sayap barat (pasebanan abdi dalem dan perpustakaan).
Pada bagian teras pendopo terdapat pajangan seperangkat gamelan. Didalamnya terdapat bangunan-bangunan yang memiliki fungsi berupa ruang tamu, tempat bercengkrama, serta tempat upacara Paku Alam beserta keluarganya. Sebagian besarnya, pada bangunan halaman pertama ini bisa dikunjungi oleh masyarakat umum, tetapi hanya pada hari-hari tertentu saja.
Selain itu, pada halaman pertama juga terdapat bangsal Parangkarsa yang difungsikan sebagai tempat menginap para tamu yang berkunjung. Sedangkan, pada halaman kedua ini terdiri atas bangunan Dalem Ageng Probosuyoso, Gandek Kulon, dan Bangsal Sewarangga.
-
Fungsi bangunan Pura Pakualaman
Sejarah Pura Pakualaman pada tahun 1813 – 1945 digunakan sebagai tempat tingal adipati Kadipaten Pakualaman sekaligus dijadikan sebagai pusat pemerintahannya pada saat itu. Pada masa pendudukan Jepang, fungsi bangunan pura ini bertambah, yaitu sebagai latihan bela diri. Selain digunakan untuk latihan bela diri, tempat ini juga difungsikan sebagai latihan beberapa kesenian jawa, seperti wayang orang
Tari-tarian jawa, dan mocopatan. Sedangkan, salah satu bagian dari bangunan, yaitu Bangsal Parangkarsa pernah digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh Presiden RI pertama, Ir. Soekarno. Beliau sembat menempati bangunan tersebut pada saat Ibukota RI pindah ke Yogyakarta pada 1946. Sementara pada saat ini, bangunan Pura Pakualaman dipakai sebagai rumah tempat tinggal Paku Alam beserta dengan keluarganya.
Sedangkan terdapat beberapa bangunan lainnya yang dijadikan sebagai kantor-kantor pemerintahan. Selain dijadikan sebagai tempat tinggal dan beberapa kantor pemerintahan, terdapat bangunan yang juga dijadikan sebagai objek wisata budaya di kota Yogyakarta.
Status dan Raja-Raja Pakualaman
Seiring berjalannya waktu, status Praja Pakualaman telah mengalami beberapa kali pergantian. Selain itu, terdapat Raja-raja yang memimpin Pakualaman dari tahun ke tahun.
Hal ini terjadi karena adanya Sejarah Pura Pakualaman yang mengalami perubahan dari tahun ke tahun dari segi politik kekusaan dan sebagainya. Adapun Status Pakualaman antara lain sebagai berikut:
- 1813-1816, negara dependen di bawah kekuasaan Pemerintah Kerajaan Inggris India Timur (East Indian).
- 1816-1942, negara dependen Kerajaan Nederland, status Zelfbestuurende Landschappen Hindia Belanda.
- 1942-1945, masuk pada bagian Kekaisaran Jepang dengan memegang status Kooti di bawah pengawasan Penguasa Militer Tentara XVI AD (Angkatan Darat).
- 1945-1950, negara dependen dari Republik Indonesia (RI).
- 1950 – sekarang, bersama dengan Kasultanan Yogyakarta berubah menjadi sebuah daerah istimewa.
Selain statusnya, berikut terdapat Raja-raja Pakualaman, antara lain sebagai berikut :
- (1812–1829) KGPAA Paku Alam I
- (1829–1858) KGPAA Paku Alam II
- (1858–1864) KGPAA Paku Alam III
- (1864–1878) KGPAA Paku Alam IV
- (1878–1900) KGPAA Paku Alam V
- (1901–1902) KGPAA Paku Alam VI
- (1903–1938) KGPAA Paku Alam VII
- (1938–1998) KGPAA Paku Alam VIII
- (1999–2015) KGPAA Paku Alam IX
- (2016–sekarang) KGPAA Paku Alam X
Seiring berjalannya waktu, adanya kemungkinan perubahan segi bangunan, pemerintahan, dan status. Meski demikian Sejarah Pura Pakualaman tetap terjaga apik dan tak lekang oleh zaman.